Review Garuda 5 : Utusan Iblis (F. A. Purawan)


Penerbit : Tiga Kelana
Tebal : 702 halaman










Sewaktu menerima kiriman buku ini, sejujurnya aku belum bermaksud untuk langsung membacanya. Yang pertama karena jumlah halamannya yang terhitung banyak, yang pastinya akan makan waktu yang nggak sedikit, dan konsentrasi yang juga nggak sedikit, untuk menyelami buku ini. Plus, sewaktu menerima buku ini, statusku sedang “transit” sementara di rumah Jakarta, harus menemui teman-teman, harus ikutan beberapa acara, sebelum akhirnya harus balik ke Balikpapan hanya dalam jangka waktu dua hari saja. Dengan agenda yang cukup ribet seperti itu, aku memutuskan untuk menunda membaca buku ini.

Namun karena nggak tahu mesti ngapain sambil nunggu janjian dengan seorang teman jam 10 pagi, akhirnya aku menyerah dan mulai membaca bab-bab awal buku ini, dengan maksud iseng, ngisi waktu, nggak serius, dan sekedar pengen tahu gimana awalan buku ini.

Dengan sangat terkejut aku mendapati diriku (nyaris) tidak dapat berhenti membaca buku ini. Kalau nggak inget-inget mesti ketemu temen, udah nggak akan berhenti deh bacanya.

Bagaimana tidak. Buku ini dibuka pada era Sentika dan teman-temannya Pendekar Garuda, ketika mereka sedang melesat menuju ke tempat di mana sang Utusan Iblis diperkirakan akan turun ke bumi. Penulis menggambarkan setting dan setiap adegan cerita dengan sangat jelas dan baik, sampai-sampai aku seolah-olah menonton film silat di dalam kepalaku sendiri. Walaupun terkadang penggunaan bahasanya membuatku suka membatin sendiri, (seperti, “Lesat? Sendika? Duuuuh bahasanyaaa!) tapi bisa dipahami bahwa pada zaman Sentika dkk, mungkin bahasa seperti itulah yang lazim dipakai (walaupun kedengarannya jadi aneh bin ajaib di telingaku yang notabene adalah orang modern).

Karakterisasi Sentika dkk pun digambarkan dengan sangat baik. Perbedaan antara sifat pendekar yang satu dengan yang lain begitu jelas. Ada Sentika si pemimpin yang berwibawa, Anggraini yang meledak-ledak dan cenderung judes, Dyah Pramesti yang tenang dan bijak, Widura yang riang dan senang bercanda, sampai Rangga yang pendiam, tapi setiap kata yang ia ucapkan punya impact yang sangat dalam.

Hal lain yang patut diacungi jempol adalah adegan-adegan actionnya. Jelas, rinci, dan yang penting, seru banget! Sewaktu jurus Pendekar Garuda diperlihatkan buat pertama kalinya, aku jadi merasa seperti membaca komik-komik silat Hongkong, yang terkenal dengan adegan-adegan aksinya yang luar biasa memukau. Sedahsyat itulah penggambaran aksi di buku ini.

Yang membuatku agak mengerutkan kening adalah adegan ketika Sentika dkk silih berganti menyebutkan ramalan yang ada di dalam kitab lontar. Dalam keadaan nyata, agak aneh rasanya kalau ada orang-orang yang merenungkan sebuah ramalan dengan cara menyebutkannya (secara sambung-menyambung pula!) Lebih alami jika mereka digambarkan merenungkan ramalan tersebut, yang kemudian isinya ditulis miring, teknik yang sudah sering dipakai di buku fikfan lain. Yah, mungkin penulis memang ingin memakai cara penulisan yang unik dan berbeda dari buku-buku lain.

Setelah bagian Sentika dkk, cerita berpindah ke Jaka dkk di masa kini. Bagaimana Jaka dkk ‘kebagian tugas’ untuk mencegah turunnya kembali Utusan Iblis, bagaimana perjalanan mereka mengetahui jati diri mereka yang sebenarnya, sepak terjang mereka mengatasi segala rintangan yang menghadang, dan seterusnya. Setting cerita berganti dari SMU Raya di Jakarta, ke lokasi perkemahan di suatu tempat di pulau Jawa.

Hal paling pertama yang kusadari adalah inkonsistensi dialog tokoh-tokoh anak SMU Raya. Di awal-awal cerita, dialog yang terjadi masih cukup terasa seperti dialog anak SMU, walaupun nggak bisa dipungkiri juga kalo terbacanya masih seperti seorang dewasa (atau seorang tua) yang mencoba untuk ngomong kayak anak SMU jaman sekarang. Tapi nggak apa-apalah, effortnya cukup berhasil, kok. Sayangnya, makin ke belakang taste anak muda slenge’annya makin hilang, berganti dengan taste formal yang tua. Jadinya aneh aja waktu ngebaca Jaka sebentar-sebentar ngomong slenge’an, sebentar-sebentar ngomong formal, padahal konteksnya masih sama, ngobrol sama temen-temennya sendiri. Jadi kayak berkepribadian ganda aja.

Hal kedua yang sangat kusadari adalah betapa karakterisasi Jaka bikin aku pengen ngeplak kepala cowok itu dan ngomong, “Oi, Dudut! Mikir dikit napa, sih?” Jaka digambarkan sangat mudah dipengaruhi, nggak bisa melihat kenyataan yang jelas-jelas ada di depan mata, nggak punya firasat sedikit pun kalo ada sesuatu yang sangat salah sedang terjadi di sekitarnya, dan buta hanya karena cinta. Singkatnya, sangat bodoh. Mana Jaka yang digambarkan berwibawa? Secara logis, dari cara-cara Jaka mengambil keputusan, mengambil tindakan, wibawanya sebagai Ketua OSIS harusnya udah nyungsep ke selokan, tenggelam dalam kolam lumpur Hangkurya Jalati. Setidaknya buat anak-anak Brimobs, ya. Tapi sampai akhir, penulis tetap menggambarkan Jaka sebagai seorang pemimpin yang berwibawa. Ukh, buatku sih nggak.

Mungkin kebodohan Jaka ini dimaksudkan penulis untuk menggambarkan bahwa walaupun Jaka adalah titisan seseorang yang dulunya memiliki wibawa yang sangat besar, nggak berarti secara otomatis wibawa itu akan terwariskan ke Jaka. Wibawa hanya bisa lahir dari pengalaman dan tempaan hidup, sesuatu yang Jaka tidak (atau belum) punyai.

Tapi kenapa Jaka tetap saja digambarkan sebagai sosok yang berwibawa, ya? *menghela napas dalam-dalam*

Sebagai alternatif lain, bisa aja sebenarnya Jaka digambarin segitu dodolnya karena kena pengaruh guna-guna seseorang. Tapi ternyata bukan itu penyebabnya. Jadi, Jaka segitu bodohnya memang karena dirinya sendiri (atau memang karena penulis maunya begitu).

Di sisi lain, Rani dan Bun juga baru digambarkan ngeh sama kejanggalan-kejanggalan di sekitar mereka di akhir-akhir cerita. Satu-satunya orang yang ngeh cuma Ratih. Yah, mungkin ini memang sengaja, untuk menggambarkan betapa Ratih memiliki intuisi yang bagus. Tapi, menurutku sih secara logika dasar, harusnya nggak susah buat narik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang aneh yang sedang terjadi, bahwa ada orang-orang mencurigakan di sekitar kita. Dan kurasa juga, anak SMU pun bisa mengerti logika dasar ini.

Masih mengenai karakterisasi, satu lagi karakter yang buatku nggak banget adalah Olga. Dengan tingkahnya yang bitchy plus pengadu domba, buatku Olga sukses menyabet predikat antagonis tersadis, bahkan ngelebihin Ki Sangeti sekalipun. Tapi kenapa oh kenapa cewek satu itu mesti digambarin tobat di akhir-akhir cerita, sih? Kenapa nggak dibiarin aja jahat sampe akhir cerita, atau mengalami sesuatu yang membuatnya nyesel tujuh turunan karena udah ngejahatin orang lain? Oh tidaaakk, Olga adalah anak yang manis dan baik, dia bitchy hanya karena alasan-alasan tertentu, dan di akhir cerita dia udah menyesal setengah mati, dan menebus semua kesalahannya kok.

*jedokin kepala ke tembok*

Tadinya aku sempet mikir kalo Olga ini juga kena pengaruh guna-guna seseorang, makanya sesadis itu. Tapi ternyata nggak tuh, cewek itu melakukan semua hal yang ia lakukan tanpa terpengaruh siapa pun.

“Tapi kan aku udah minta maaf, dan udah berusaha nebus kesalahanku,” kata Olga dengan mata berkaca-kaca. “Jadi maafin aku, ya?”

*jedokin kepala ke kepalanya Olga*

Lanjut, adegan-adegan action Jaka dkk masih digambarkan seasyik dan sedahsyat seperti bagian Sentika dkk. Tapi buatku adegan actionnya terlampau banyak, jadinya begitu sampai di adegan pertempuran terakhir, energiku udah hampir habis duluan buat ngikutinnya. Mungkin sebenernya nggak apa-apa klo adegan actionnya banyak, asalkan intensitasnya nggak terlalu tinggi, jadi pembaca masih punya napas buat ngikutin pertempuran terakhir, yang harusnya jadi yang paling megah, paling dahsyat, dan paling intens. Tapi di buku ini setiap adegan pertempurannya digambarkan dengan sangat intens, jadi begitu sampai di klimaks pertempuran, aku ngerasa kayak orang abis marathon tapi masih dipaksa buat sprint lagi begitu udah deket finish. Capek bo.

Masih soal action, buatku agak kebanting aja rasanya waktu tahu bentuk ilmu silat seseorang yang “pukulannya berupa terjangan aura berwarna keperakan, seperti peluru membentur lapisan hitam merah yang melindungi Ki Sangeti, menimbulkan bunyi mendecing persis adu tembak-tembakan di film action.” Buatku, ilmu silat Pendekar Garuda lainnya (yang di masa kini) terlihat dan terbaca seperti ilmu silat jadul. Jadi begitu ketemu ilmu silat yang berasa modern gini, jadi bener-bener kebanting rasanya.

Secara plot cerita, sebenarnya penulis udah dengan sangat lihai menghindari plot standar cerita fikfan, yang kurang lebih : pengenalan tokoh – tokoh sadar siapa dirinya sebenarnya – ketemu guru – belajar dari guru – diberi tugas oleh guru – menghadapi rintangan demi rintangan dalam menjalankan tugas – pertempuran terakhir – mengeluarkan jurus pamungkas – mengalahkan musuh utama dengan jurus pamungkas – live happily ever after. Di buku ini, plot ceritanya nggak seperti itu, walaupun nggak menyimpang sangat jauh juga, membuatnya jadi cukup familiar dan enak dibaca, tanpa terkesan jadi klise.

Paling aku agak ngerutin kening aja waktu melihat bagaimana penulis memasukkan konsep agama sebagai bagian integral dari plot. Sebenarnya sama sekali nggak ada yang salah, sih. Toh waktu membaca buku fikfan lain, yang juga memasukkan konsep agama lain ke dalam cerita, aku fine-fine aja ngebacanya. Kayaknya ini murni masalah selera sih.

Mengenai teknik penulisan, aku masih sering menemukan kata-kata ‘ajaib’ yang sampai umurku yang sebegini rasa-rasanya belum pernah kutemukan dalam literatur manapun yang pernah kubaca, bahkan buku paket Bahasa Indonesia sekalipun. Tapi nggak apa-apa, sih, adalah sepenuhnya hak penulis untuk menuliskan ceritanya dengan cara seperti apa dan pilihan kata yang bagaimana. Toh nggak mengurangi kenikmatanku membaca (mungkin hanya sedikit mengurangi kelancaranku membaca, tapi sama sekali nggak fatal). Tapi anehnya, pemilihan kata yang lawas dan nyastra ini kadang-kadang bercampur dengan kata modern, bikin kening jadi ngerut. Contohnya, di antara rentetan deskripsi “Dengan gerakan ringan, si remaja lompat undur setindak.” dan “Takjub ia melihat lidah-lidah api membelah, menyibakkan jalan bagi si laki-laki gagah.” tiba-tiba ada deskripsi “Dengan cahaya api menerangi dari bawah, laki-laki itu terlihat begitu keren gayanya.” Ha? Keren? Kenapa nggak pake deskripsi “Dengan cahaya api menerangi dari bawah, jurus itu terlihat begitu indah sekaligus mematikan.” atau semacamnya, gitu? Jadinya kan nggak berasa kebanting banget ngebacanya.

Penulis juga terkadang ‘iseng’ mengomentari ceritanya sendiri dengan catatan-catatan kaki yang gokil. Footnote-footnote ini lumayan bikin aku senyam-senyum, dan sukses membuatku ngakak di hal. 160. Thumbs up lah, kepikiran untuk nulis dengan teknik begini.

Secara keseluruhan, buku ini asyik buat dibaca, dan yang pasti menyajikan adegan-adegan action seru dan dahsyat sekelas komik-komik Hongkong. Mudah-mudahan buku keduanya cepet keluar ya.

0 Response to "Review Garuda 5 : Utusan Iblis (F. A. Purawan)"