Edit Sambil Nulis atau Nulis Baru Edit? ~ Antara Pemula dan Pro

Membaca tulisan Luz Balthasaar di blognya membuatku teringat lagi akan artikel yang pernah kubaca dulu. Artikel tersebut berjudul The Single Most Important Piece of Advice, ditulis oleh Algis Budrys ketika menyusun buku Writers of the Future Vol. II. Sekedar info, Writers of the Future (WOTF) adalah sebuah kontes penulisan fikfan dan science fiction yang pertama kali diselenggarakan oleh L. Ron Hubbard, seorang penulis sci-fi terkenal. Kontes ini ditujukan kepada para penulis amatir, dan sejak diselenggarakan pertama kali pada awal 1980-an, kontes tersebut telah menghasilkan banyak nama-nama besar dalam kepenulisan sci-fi dan fikfan, dan telah menjadi salah satu kontes paling bergengsi dalam dunia kepenulisan fikfan dan sci-fi di luar negeri sana.



Kembali ke artikel tadi, sang penulis artikel meminta para juri kontes WOTF untuk memberikan satu buah saran yang paling jitu untuk para penulis pemula. Para juri itu tak lain tak bukan adalah Frank Herbert (penulis serial Dune), Anne McCaffrey (penulis serial Dragonriders of Pern), Gene Wolfe (penulis serial The Book of the New Sun), dan Larry Niven (penulis serial Ringworld). Keempat juri ini adalah penulis profesional yang sudah banyak menghasilkan buku, dengan gaya kepenulisan yang tentu saja beda-beda. Nggak diragukan lagi, saran yang mereka berikan pasti juga berbeda-beda. Namun kenyataan yang terjadi sangat mengejutkan. Para juri itu sepakat bahwa satu buah saran yang paling penting bagi para penulis pemula adalah, “Perbedaan utama antara penulis profesional dan penulis pemula ialah, penulis pemula berpikir per bagian sementara penulis profesional berpikir secara keseluruhan.”

Maksudnya? Di lapaknya, Luz menuliskan bahwa untuk mengembangkan gaya bahasa bercerita yang baik dan benar, ada dua cara, yaitu:
1. Menulis dengan mengingat semua pedoman gaya bahasa yang baik dan benar.
2. Kerjakan dulu sesuai gaya bahasa kita (entah itu baik, benar, buruk, jelek) baru belakangan diedit kembali.

Nah, di sinilah perbedaan antara (penulis) pemula dan profesional berbicara. Penulis pemula menggunakan teknik pertama, setiap kali menulis akan berhenti di setiap detil dan berpikir, “Udah bener belum, ya?” atau “Sudut pandang apa yang mesti gue pake?” atau “Gaya bahasa apa yang bagus buat dipake ngegambarin adegan ini?” dan seterusnya and so on et cetera. Sementara profesional menggunakan teknik kedua, menulis hanya dengan berpikir, “Oke, ini bisa dipake nggak?” dan langsung melanjutkan menulis tanpa memusingkan sudut pandang, gaya bahasa, diksi, dialog, dan sebagainya. Para pro itu memikirkan cerita secara keseluruhan, bukan detil per kalimat, paragraf, bagian, atau bab.

Tapi itu bukan berarti profesional mengabaikan yang namanya karakterisasi, gaya bahasa, plot, dialog, dan semua teknik menulis lainnya. Hanya saja, seorang penulis menjadi seorang pro pada saat dia sadar kalau semua teknik kepenulisan itu, yang sudah kita pelajari di sekolah, dari teman-teman kita, dari internet, dan masih banyak sumber lain, tak lain dan tak bukan hanyalah alat untuk menyampaikan cerita itu sendiri. Biarkan cerita mengalir, dan segala macam printilan soal teknik itu bakal menyusul dengan sendirinya. Atau, tulis saja dulu ceritanya, baru kita edit tekniknya belakangan.

Apapun cerita yang para profesional itu sampaikan, hal yang mereka sasar adalah kepuasan pembaca. Pembaca nggak akan memusingkan sudut pandang orang pertama, kedua atau ketiga yang digunakan. Mereka nggak akan mempermasalahkan soal diksi, gaya bahasa, atau teknik bercerita yang dipakai (kecuali kaum sastramasosis yang gemar makan sosis, eh, maksudnya yang senang membedah sebuah karya sastra untuk memberikan kritik). Yang pembaca inginkan cuma satu, yaitu cerita yang menarik dan memuaskan. Dan para profesional itu menjadikan kepuasan pembaca sebagai tujuan utama, dan tidak memusingkan sarana, alat atau kendaraan yang mereka gunakan menuju ke sana.

Aku sendiri mengaku kesulitan mengamalkan teknik pro ini. Kadang kala aku bisa saja menulis tanpa memusingkan detil tekniknya, berkonsentrasi hanya untuk menyampaikan cerita yang ada di kepalaku ke dalam bentuk tertulis. Namun seringkali aku juga berhenti setiap menulis satu kalimat dan mulai mempermasalahkan teknik yang kupakai, sudah benar atau belum? Sudah bagus atau belum? Tampaknya jalanku jadi seorang pro masih cukup jauh.

Bagaimana menurut kalian sendiri? Apakah kalian sudah jadi pro atau masih pemula? Apa kalian punya tips yang lebih jitu untuk jadi yang namanya “penulis pro”?

5 Response to "Edit Sambil Nulis atau Nulis Baru Edit? ~ Antara Pemula dan Pro"

  1. Luz Balthasaar Says:

    Misii, numpang nyeletuk/sok bijak, wkwkwkw...

    Aku ga suka L. Ron Hubbard karena alasan ini.

    Tapi saran yang dibahas di post ini menarik rasanya.

    Sedikit koreksi, aku nggak bilang kalau caraku adalah cara mengembangkan gaya bahasa yang baik dan benar. Mbeling iya. Baik ga tau. Benar apa nggaknya, silakan dibuktikan sendiri, wkwkwkwk.

    Balik ke topik,

    "Perbedaan utama antara penulis profesional dan penulis pemula ialah, penulis pemula berpikir per bagian sementara penulis profesional berpikir secara keseluruhan."

    Barangkali ini benar. Jujur aja aku ga tau benar-salahnya. Tapi demi kelancaran, mari kita asumsikan ini benar.

    Kalau kita sepakat itu benar, renungan pertama adalah, kita nggak bisa mulai menulis langsung jadi pro.

    Semua orang yang belajar harus memulai dari suatu tempat, bukan? Oleh karena itu, aku dengan bangga akan menyebut diriku pemula.

    Sebagai pemula, aku akan merenungkan setiap langkahku, setiap kata yang kupilih, setiap plot twist yang kubuat, dan setiap kalimat yang kususun.

    Ini tentu saja memakan waktu lama. Namun, makin sering aku melakukan ini, pelan-pelan waktu yang kuperlukan untuk merenungkan semua elemen cerita akan berkurang. Sampai akhirnya, pada suatu ketika, aku akan menjadi cukup berpengalaman untuk mengambil keputusan tentang kata, kalimat, dan plot hanya dalam waktu sekejap.

    Pada titik inilah aku akan menjadi pro.

    Jadi, jawabanku adalah, aku seorang pemula. Dan aku senang belajar dan bertukar ilmu dengan sesama pemula maupun (yang sudah merasa) pro.

    Menjadi pro itu nggak instan. Jadi kalau aku nggak bisa menerapkan 'cara pro' saat ini, mungkin memang belum mampu, dan belum saatnya.

    Aku nggak akan maksa memakai cara pro hanya karena aku mau disebut pro. Lebih baik aku berproses untuk menjadi pro.

    Karena pada akhirnya, pembaca nggak peduli aku pro atau tidak, kan? Yang mereka peduli apakah cerita yang mereka baca bagus atau tidak, terlepas dari apakah yang menulis pemula atau pro.

  2. Dewi Putri Kirana Says:

    Soal Hubbard, emang Church of Scientology-nya itu agak meragukan...

    Soal baik dan benar, nanti aku edit jadi "cara mengembangkan gaya bahasa yang mbeling ala Luz. Resiko dan efek samping ditanggung sendiri" wkwkwk...

    Yap, yap, emang bener kita ga bisa langsung jadi pro. Yang penting adalah kita tahu arah mana yang harus ditempuh untuk jadi pro.

    Tapi dengan memaksa menggunakan cara pro, bisa jadi kita memaksa diri kita yang pemula ini untuk (sedikit) berproses jadi pro. Kalau kita ga coba untuk menggunakan teknik pro, kapan kita lulus dari posisi pemula?

    Well, yah, teknik ini emang ada bagusnya ada jeleknya juga. Bagusnya, mungkin kita bisa lebih cepat jadi pro. Jeleknya, mungkin pro nya jadi karbitan, alias kelewat cepet mateng tanpa ada "inti"nya.

    Teknik mana pun yang dipakai, resiko dan efek samping ditanggung sendiri hahahaha (penulis ga bertanggung jawab). Tapi hasilnya juga bakal dinikmati sendiri.

  3. Roedavan Says:

    Pembahasan yang menarik nih, berhubung mbak2 semua adalah penulis pemula, ijinkan saya yang penulis pro ini untuk memberikan masukan. *BLETAK!! dilempar sepatu sama om Pur*

    Gue mah setuju sama mbak Luz, soale yang namanya jadi pro nggak bisa mie (mie kan instant). Jadi ibarat kata sekolah SD, SMP, SMA, tetep kudu lewat tahap2annya. Kan lucu kalau ada yang bilang, "ngapain capek2 sekolah SD? Mending SMA aja sekalian," atau "ngapain SMP mesti 3 tahun, mending 3 minggu aja, biar cepet2 masuk SMA".

    Dari pembahasan tersebut di atas, sudilah kita bersama sekalian merenung dalam damai, hening dan sentosa. Permasalahan pada penulis pro dan pemula adalah: "Waktu"

    Waktu yang dimaksud bukan waktu detik2an loh, maksudnya, waktu itu jam terbang. Seberapa banyak kita nulis, seberapa banyak kita baca, seberapa banyak kita ditolak penerbit, wkwkwkwkwkw. Pokoknya, selama hasrat untuk nulis itu tetap hidup, kita pun semua akan bertransformasi dari seorang penulis pemula menjadi seorang penulis pro.

    Tahu nggak ciri2 seorang penulis pro? Biasakan dia akan selalu berkata: "saya masih penulis pemula."

    Yap! Merendah selalu sukses menaikkan mutu. Jadi kalau ada seseorang yang ngaku2 kalau dia adalah penulis pro, dia bohong besar sodara2!! Ng...., *baca lagi awal komentar gue*, ehm, kecuali gue. Kalau gue mah asli penulis pro, wkwkwkwkw

  4. Anonim Says:

    Sista, gak ikutan fiesta 2010?

    Heinz.

  5. Dewi Putri Kirana Says:

    Hi Heinz,

    Ikutan kok, tapi belum diposting di sini. Ikutnya dah detik2 terakhir >_<

    Mungkin nanti bakal aku post di sini, mau tau reaksi yang baca gimana :D